Rabu, 28 Januari 2009

Berpikir secara rasional

Berpikir rasional adalah berpikir menggunakan data yang ada untuk mencari kebenaran faktual, kegunaan, dan derajat kepentingannya. Berpikir rasional melakukan analisis yang logik dan relevan dengan suatu barang bukti yang riil, bukan rekayasa atau fantasi, serta adanya alat ukur yang disepakati atau universal.Lawan berpikir rasional adalah berpikir emosional. Di sini tidak perlu ada fakta, atau pembuktian. Cukup dugaan, simbol, atau rekayasa atau fantasi yang keluar dari rasa senang tidak senang, suka tidak suka, benci, sayang, penghormatan, respek, persahabatan, dan kekeluargaan.Apakah berpikir emosional itu salah atau tidak baik? Masing-masing punya manfaat dan tempatnya yang sesuai.Berpikir rasional dipakai bila kita ingin maju, ingin mempelajari ilmu, dan bersaing untuk maju. Juga amat perlu bila kita bekerja untuk kepentingan orang banyak, dengan bermacam-macam pola pikir dan kepercayaan, karena kita bakal punya alasan objektif yang bisa ditunjukkan kepada orang banyak (transparansi), bisa diperdebatkan (argumentasi yang logik dan relevan), serta bisa dibandingkan karena punya alat ukur. Hal-hal yang emosional tidaklah demikian.Berpikir emosional berguna untuk mendapatkan kesenangan, kebahagiaan, dan kepuasan pribadi, dan didasari selera. Tolok ukur selera berbeda pada setiap orang, yaitu tingkat senang dan tidak senangnya seseorang, artinya tidak universal. Berpikir emosional menjadi dasar ikatan-ikatan emosional dan tindakan-tindakan emosional.Jadi, untuk kesenangan dan kepentingan pribadi atau kelompok yang punya kepentingan sama, bisa memakai cara berpikir emosional. Tetapi, dalam masyarakat yang berbaur, yang bineka, kita harus berpikir rasional.Di negara Indonesia yang bhinneka tunggal ika, demi menghargai setiap orang atau kelompok orang, yang bineka, kita harus menerima cara berpikir emosional dalam wadah personal. Tetapi, kita pun harus menjunjung tinggi kepentingan bersama, yang eka, kepentingan seluruh macam orang di negara ini, dengan berpikir rasional dalam wadah publik. Tidak tercampur.Jadi, kalau dilihat dari setiap orang, dia bisa memakai kedua cara berpikir itu. Berpikir emosional bisa untuk diri sendiri atau kelompoknya sendiri (personal domain), sedangkan yang rasional dia harus dalam posisi sebagai anggota masyarakat yang bineka dalam public domain. Tentu dia pun bisa memakai cara berpikir rasional ini untuk diri sendiri atau kelompoknya bila ingin maju.Berpikir emosional: untuk diri sendiri dalam personal domain, untuk kelompok sendiri dalam personal domain, dan tidak untuk publik yang bineka dalam public domain.Adapun berpikir rasional ialah untuk orang banyak yang bineka atau untuk ilmu, dalam public domain, dan untuk diri sendiri dan kelompok dalam personal domain. Dengan mengenal kedua cara berpikir dan kedua ranah ini, kita akan bisa menempatkan diri cara berpikir mana yang cocok untuk urusan pribadi dan mana yang cocok untuk urusan publik.Ketertiban MasyarakatMenjadi sangat penting untuk menjaga ketertiban masyarakat agar tidak jatuh dalam anarki, korupsi, nepotisme, dan terorisme. Anarki dan terorisme hanya terjadi bila kepentingan pribadi atau kelompok pribadi dipaksakan bagi kelompok lain atau masuk dalam domain publik. Sedangkan korupsi dan nepotisme terjadi bila mereka memakai fasilitas publik atau fasilitas negara, untuk kepentingan pribadi atau kelompok.Kepentingan dalam publik haruslah kepentingan orang banyak. Artinya, setiap anggota masyarakat, lintas golongan, dalam domain publik itu membutuhkannya. Kalau ada satu kelompok saja dalam domain publik yang tidak membutuhkannya, masalah itu tidak bisa disebut masalah publik. Itu merupakan masalah pribadi atau personal. Produk negara serta cara-cara negara, seperti pemilihan umum, adanya partai politik serta UU seharusnya adalah hal-hal yang melulu kepentingan publik, kepentingan seluruh lapisan masyarakat yang bhinneka tunggal ika.Tetapi, karena pengertian personal matter, public matter, dan personal domain serta public domain belumlah kuat, belum membudaya, banyak hal yang sifatnya personal sampai saat ini masih berkecimpung dalam public domain, atau ada yang mengupayakan masuk dalam public domain.Reformasi yang digebrak 1998 mempunyai slogan hapuskan KKN. Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah gambaran betapa hebatnya masalah personal matter masuk dalam public domain. Masalah personal para pejabat masuk dalam negara, jadi urusan negara. Tetapi, saat itu tokoh reformasi, pimpinan politik, dan negara belum mampu menerjemahkan reformasi sampai ke akarnya dan tujuan yang ingin dicapai, yaitu menghindari tercampurnya masalah personal masuk public domain. Sampai saat ini belum ada suatu produk hukum yang keluar, yang mengatur secara umum untuk melarang personal matter masuk dalam public domain. Maka tujuan reformasi itu macet. KKN masih berjalan terus. Reformasi bukanlah kebablasan. Kalau kebablasan, artinya kita pernah sampai dan keluar menembusnya. Kita belum pernah sampai goal yang sesungguhnya.Jadi, buah reformasi 1998 hanya bisa terwujud bila kita mau mengerti dan memisahkan antara masalah personal dan publik, serta tempat = ranah = domain personal dan publik. Keduanya, masalah dan tempat itu harus terpisah dan tidak tercampur. Masalah personal di personal domain dan public domain hanya berisi masalah publik.Demokrasi berkecimpung dalam domain publik mengatur kekuasaan bagi publik. Dan hak asasi manusia mengatur hak-hak personal dalam personal domain. Keduanya mempunyai tempat yang terhormat dalam suatu negara dan saling dihargai.Begitu pula bhinneka tunggal ika, kebinekaan berada dalam personal domain dan eka dalam public domain.Prof Djohansjah Marzoeki, guru besar (LB) Unair.

Tidak ada komentar: